Rabu, 29 Desember 2010

Universitas Kehidupan di Meja Makan


Keluarga adalah dunia kecil tempat di mana manusia mempelajari dasar-dasar kehidupan. Dan untuk itu ukuran dan kemewahan tidak menjadi ukuran. Pelajaran hidup bias didapat di keseharian, dalam sebuah ritual sederhana, misalnya makan malam. Leo F. Buscagila, seorang professor di AS, menuangkan kenangan tentang ayahnya dalam buku Papa My Father. Berikut petikannya.
                Ketika ayah mulai tumbuh dewasa, dunia sedang berada pada pergantian abad. Pada masa krisis semacam itu, pendidikan hanya milik mereka yang berharta, sementara ayah hanyalah anak petani miskin. Di kelas lima sekolah dasar, beliau berhenti sekolah disertai protes dari gurunya. Ayah kemudian bekerja di pabrik. Sejak saat itu kehidupan menjadi sekolah dan tempat belajarnya.
                Hasrat yang besar untuk belajar serta keingintahuannya terhadap dunia luar membawanya menyeberangi lautan, berimigrasi ke Amerika. Sejak itu ia memutuskan bahwa tak seorang pun anaknya yang tidak tersentuh pendidikan.
                Ayah percaya, bahwa dosa terbesar bagi seorang manusia adalah pergi tidur di malam hari sebagai orang dengan pengetahuan yang sama ketika bangun pagi. “ Ada begitu banyak hal untuk dipelajari,” katanya, “Meskipun manusia dilahirkan bodoh, hanya orang bodoh yang akan tetap begitu.”
                Untuk menumbuhkan kecintaan akan pengetahuan, ayah mengharuskan kami untuk setidaknya belajar satu hal baru setiap hari. Makan malam adalah forum yang tepat untuk berbagi apa yang telah kami pelajari hari itu. Sebagai anak kecil, kami menganggap ini sinting belaka. Dibanding orang tua lain pada umumnya, ayah jelas-jelas aneh.
                Biasanya, sebelum makan malam, kami, anak-anak, akan saling berbisik “Apa yang kamu pelajari hari ini?” Jika jawabannya adalah ‘tidak ada”, kami tidak akan pernah berani pergi makan tanpa sebelumnya berkutat membaca ensiklopedi tua milik keluarga, menenlisiknya sampai menemukan fakta yang bisa kami bawa. Dan, … ini dia ! “Penduduk Nepal berjumlah … “
                Makan malam bagi kami adalah saat yang bising dan ramai. Setiap informasi, tidak peduli betapapun remehnya, akan didengar dengan serius. Ayah dan ibu selalu siap dengan tanggapan. Kadang erupa dukungan ataupun analisa, dan semua diungkapkan secara terbuka.
                Akhirnya saatnya tiba. Saatnya untuk berbagi apa yang kami pelajari hari ini. Ayah, di kepala meja, menyalakan sebatang rokok Italia, menatap kami satu persatu. Ia seiring berkata bahwa ini dilakukan karena ayah yakin bahwa kami akan tumbuh cepat dan ayah tidak ingin kehilangan setiap momen pertumbuhan kami.
                Akhirnya pandangannya akan jatuh pada salah seorang dari kami. “Felice,” katanya, memanggil nama kecil saya. “Coba beritahu Ayah, apa yang kamu pelajari hari ini ?”
                “Mmmh, penduduk Nepal itu berjumlah … “
                “Jumlah penduduk Nepal. Hmmm … “ Dia kemudian bertanya pada Mama,”Mama tahu hal tersebut ?”
                Mama, yang menjadi penghangat suasana menjawab,”Nepal ? Jangankan penduduknya, dimana Tuhan meletakkan negeri itupun, Mama tidak tahu.”
                “Felice,” katanya, “Ambil atlas supaya kita bisa menunjukkan pada Mama, dimana itu Nepal.” Dan seluruh keluarga pun terlibat dalam pencarian Nepal, mengupas segala informasi tentang Nepal yang dapat kami temukan. Hal yang kurang lebih sama selalu terulang setiap kali tiba giliran pada anggota keluarga yang lain. Tidak pernah ada makan malam yang berakhir tanpa sebuah pengetahuan baru tentang sesuatu.
                Bertahun kemudian, dalam sebuah retropeksi saya menyadari kedinamisan teknik yang diterapkan ayah pada kami. Tanpa kami sadari, keluarga kami tumbuh bersama, berbagi pengalaman, dan berpartisipasi dalam pendidikan satu sama lain. Dengan menatap kami, mendengarkan, menghargai pendapat kami, meneguhkan norma-norma yang kami yakini, danmenumbuhkan harga diri kami, ayah jelas guru yang sangat berpengaruh bagi anak-anaknya.
                “Berapa lama kita hidup, itu terbatas,” ujarnya selalu. “Tapi seberapa banyak yang bisa kita pelajari tidak terbatas. Kita adalah apa yang kita pelajari.” Dan setiap malam sebuah pertanyaan akan tergiang di telinga saya,”Apa yang kamu pelajari hari ini ?” (att-disadur dari Reader’s Digest, diketik ulang oleh dew dari majalah B-Family no. 1/Tahun I/Maret 2003)
               


Sabtu, 18 Desember 2010

Tanda-Tanda Hampanya Jiwa



Kamis, 30 September 2010, Ba’da ashar di Darush Sholihat disampaikan ust. Syatori AR himself

Hidup bila hanya untuk dunia seperti hidup di dalam gurun pasir, kering
Ibnul Qoyyim Jauziyah berkata :” Di dalam hati setiap manusia terdapat sebuah ruang kosong dan kering yang tidak bisa ditutup kecuali dengan dzikrullah (ingat kepada Alloh).”
Puncak dari dzikrullah adalah shalat. Shalat adalah oase bagi jiwa kita.
TQS Thoha : 14 “Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku … “
Sholat akan membuat kita terhindar dari kekosongan dan kekeringan jiwa

Tanda-tanda hampanya jiwa
Ada dua jenis tanda-tanda hampanya jiwa.
Jenis pertama terasakan, orang bisa merasakannya. Contoh : mereka yang merasa kecewa oleh sesuatu atau seseorang. Jenis kedua sangat halus sehingga tidak terasakan, mereka atau kita ( ?) hanya menghabiskan waktu untuk kesenangan dunia, misal : melihat sinetron yang tidka mengingatkan kita pada-Nya. Tanda-tanda hampanya jiwa terlihat dari perilkau orang tersebut. Misal, nonton bola untuk apa.
1.       Berbuat Jahlun, berbuat apa saja tanpa memikirkan akibatnya
2.       Bersikap ananiyyun, sikap dan tindakannya hanya untuk dirinya sendiri, egois, individualis
3.       Melakukan dhulmun, yakni memandang orang lain sebagai sumber kesulitan dan kesusahan.
Sholat akan membuat kita terhindar dari kekosongan dan kekeringan jiwa. Sholat akan menjauhkan kita dari hampanya jiwa. Puncak dari dzikrullah pun adalah shalat. Shalat adalah oase bagi jiwa kita.
TQS Thoha : 14 “Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku … “
Fungsi sholat bagi kita :
1.       ‘Ainul Hayati : mata air  kehidupan
2.       Ma’had Rabbani : tempat  untuk menguatkan kembali  janji-janji kita kepada Alloh Ta’ala. Sholat membuat hidup kita terikat dengan Alloh. Ketika kita sholat, kita masuk ke ma’had. Karena sholat adalah Ma’had Robbani. Ma’had adalah tempat pendidikan, semacam sekolah/kampus.
Santri yang baik, meski sudah keluar dari pondok tapi merasa terikat dengan aturan-aturan pondok. Begitu juga kita. Kita semua adalah santri dari ma’had bernama sholat. Di luar sholat, mestinya kita merasa terikat dengan sholat.
3.       Wasilah Taqorrub. Sholat adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Taqarrub khusus. Hanya bisa disandarkan ke Alloh.
Simat/tanda-tanda muqorrobun (orang-orang yang sudah dekat dengan Alloh) :
a.       Selalu merasakan kehadiran Alloh swt kapan pun, dimana pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Hidupnya pun akan hati-hati, tidak sembrono dan hatinya akan tenang.
b.       Menyerahkan hawa nafsu kepada kehendak Alloh Ta’ala. Contoh : sholat dengan adanya imam, harus mengikuti gerakan imam. Manut. Pergi dengan atasan, minta berhenti karena lapar ke atasan. Atasan bilang, tar saja, di sana saja, di sana makanannya lebih enak, ikut saja.
c.       Merasa tidak memiliki dan dimiliki apa pun dan siapa pun kecuali bahwa semua adalah tititpan dari Alloh dan ia pun adalah milik Alloh.

Beda Cinta dan Kasih Sayang


Ahad, 24 Oktober dan 5 Desember 2010 ( isi sepenuhnya adalah tanggung jawab peringkas : pengelola blog ini)

Cinta adalah ketertarikan tidak logis, kurang lebih 6 bulan kemudian akan mati tanpa ada kasih sayang. Bentuk lengkap dari cinta adalah cinta kasih.
Jatuh cinta adalah tanda dariNya agar kita bersegera untuk menikah, bersegera untuk bersama. Ia adalah anugerah Alloh agar ada kelangsungan hidup manusia.
Pernikahan itu bukan pada pestanya tetapi pada saling memiliki satu sama lain. Pernikahan tidak langgeng bukan karena kurangnya cinta tetapi karena kurangnya persahabatan.
Kasih sayang adalah keputusan logis untuk melayani pasangannya, bermanfaat untuk pasangannya. Keputusan logis untuk perduli satu sama lain. Bentuk terakhir dari kasih sayang adalah memaafkan. Kualitas kasih sayang kita dinilai dari kesulitan yang kita jumpai untuk menyayangi.
Contoh : ketika melihat anak kecil yang lucu, cantik/ganteng, sehat wal afiat, maka adalah mudah bagi kita untuk mencintai dan menyayanginya. Berbedahalnya apabila yang kita hadapi adalah anak penderita down syndrome atau autis misalnya.
Kasih sayanglah yang melanjutkan cinta. Kasih sayang sendiri akan langgeng dengan adanya persahabatan. Temukan kegembiraan untuk bersama, kegembiraan bersama.
Bagi yang sedang jatuh cinta, berfikirlah.
Jangan ikatkan diri pada keadaan yang buruk.
Hebatkan diri agar pantas bagi mereka yang hebat.
Pria harus lebih logis, kuat dan gagah. Istrilah kepala rumah tangga yang sebenarnya. Suami yang memelihara keutuhannya (bagi wik ini berarti, suamilah yang harus lebih banyak mengalah dan ngemong ke istri, right ?).
Kehidupan ini sebenarnya adalah kehidupan kita. Kitalah nahkodanya. So … jadilah pemimpin kehidupan yang sebenarnya.
Jadikan perasaan dan pikiran untuk memperindah kebersamaan.
Tidak ada orang yang lebih malas dari mereka yang malas memberi makan diri sendiri.
Sebaik-baik tindakan dimuai dari keputusan yang baik.
Memuliakan kehidupan dimulai dari memuliakan diri sendiri.
Ada perceraian dan menikah lagi ? Mulailah bersungguh-sungguh seperti pada pernikahan pertama.
Untuk kebahagiaan, kita tidak bisa menghindari kebenaran.
Kebahagiaan adalah kegembiraan dalam rasa damai yang penuh kesyukuran.
Damai karena melakukan sesuatu yang seimbang.
Syukur karena mengenali semua adalah milik Alloh.
Perasaan damai akan kuat ketika kita mensyukuri yang sudah kita miliki. Damai dengan apa adanya diri kita.
Kebahagiaan/ menjadi bahagia bukanlah akhir perjalanan. Ia adalah kualitas perjalanan keseharian kita.
Orang yang tidak memiliki tidak berarti kekurangan. Begitupun mereka yang memiliki tidak berarti berlebih.
Mengertilah, siapa yang mengerti akan menjadi baiklah ia.
Memintalah, memantaskan dirilah dan menerimalah dengan kesyukuran.
Memintalah dari yang kecil, lebih besar dan kemudian mintalah yang hebat.
Serahkan yang tidak logis pada Alloh, Penguasa segala. Karena ketidaklogisan ada dalam wilayah-Nya.

Pantang Mati Sebelum Ajal


Andy`s Corner, diambil dari www.kickandy.com
Senin, 10 Mei 2010 23:21:00 WIB
Pantang Mati Sebelum Ajal
Saya menahan nafas dan hampir tak tahan melihat wajah Pepeng yang meringis menahan sakit. Setiap kali kursi roda yang diduduk Pepeng digeser, mantan presenter kondang ini terlihat menahan rasa sakit yang tak terhingga. Padahal pergeseran kursi roda itu sudah dilakukan dengan sangat hati-hati.
Tidak mudah “menggotong” Pepeng agar bisa tampil di acara Kick Andy. Selain tubuhnya yang tinggi besar terasa sangat berat, Pepeng juga tidak bisa turun dari kursi roda. Maka dibutuhkan empat orang untuk membantu Pepeng naik ke atas panggung bersama kursi rodanya.
Jujur saja, tim Kick Andy sempat merasa bersalah karena “memaksa” Pepeng untuk bisa tampil di Kick Andy. Sejak rapat perencanaan, faktor kesulitan mengajak Pepeng ke studio sebenarnya sudah menjadi perhatian kami. “Setiap guncangan kecil saja sudah menyebabkan sakit yang luar biasa. Jadi perlu dilakukan dengan sangat hati-hati jika Pepeng dibawa dari rumah ke studio,” begitu informasi yang kami terima dari tim Kick Andy yang bertugas menjemput Pepeng.
Bukan itu saja persoalan yang harus kami hadapi. Karena Pepeng tidak bisa turun dari kursi roda, maka mobil yang mengangkut mantan presenter program televisi “jari-jari” ini juga harus mobil khusus. Ternyata tidak mudah mencari mobil dengan fasilitas hidrolik agar kursi roda bisa naik dan turun dengan mudah. Untung akhirnya mobil khusus tersebut didapat juga.
Jangan membayangkan mobil yang nyaman. Sebab mobil khusus tersebut tak lebih dari sebuah bus mini tanpa tempat duduk. Maklum bus tersebut memang dirakit khusus untuk para pengguna kursi roda. Saya merasa tidak sampai hati manakala mendengar cerita bagaimana istri dan keluarga Pepeng, yang ingin menemani Pepeng ke studio, terpaksa membawa kursi sendiri untuk bisa duduk di bus tersebut.
Dengan penuh perjuangan akhirnya Pepeng sampai juga di studio. Sejak turun mobil, naik lift, sampai di atas panggung Pepeng harus menahan sakit yang tak terperi. Tetapi, begitu kamera menyala dan penonton bertepuk tangan, saya melihat wajah pepeng begitu sumringah. Rasa sakit yang mendera seluruh fisiknya seakan lenyap tanpa bekas sedikit pun.
Dengan penuh percaya diri, ceria, dan tak ada kesan meratapi nasibnya, Pepeng lalu membagi cerita perihal penyakitnya kepada penonton di studio. Rekaman berjalan lancar dan bahkan penuh sendau gurau. Sungguh di luar dugaan.
Kick Andy memang mengangkat topik para penyandang penyakit-penyakit langka. Penyakit yang diderita Pepeng, multiple schlerosis (MS), tergolong penyakit langka karena sampai saat ini belum ditemukan obat penyembuhnya. Sudah lama saya ingin mengangkat topik ini. Salah satu yang ingin saya undang sebagai nara sumber adalah Pepeng. Tetapi, saya ragu. Mampukah Pepeng hadir di studio?
“Tiga tahun lamanya saya bermimpi bisa mengajak Pepeng keluar dari rumah. Baru sekarang mimpi itu terkabul,” ujar Tamy, sang istri. Ucapan tersebut membuat saya tersadar. Tak terasa sudah tiga tahun lebih Pepeng menghilang dari peredaran. Selama itu pula dia harus bertahan dari penyakit yang membuatnya lumpuh.
Bisa kita bayangkan bagaimana menderitanya seseorang yang selama ini dikenal sangat aktif, tiba-tiba luruh tak berdaya di atas kursi roda. Sulit membayangkan Pepeng yang selalu ceria dalam setiap program televisi yang dibawakannya, tiba-tiba harus terkungkung dalam kamar yang disebutnya “goa”.
Tidak semua orang siap menghadapi kondisi seperti yang dihadapi Pepeng. Perlu semangat yang luar biasa untuk bisa bertahan. “Saya berusaha berdamai dengan penyakit saya,” ujar Pepeng. Dia mengaku rasa nyeri yang menyerang sekujur tubuhnya dalam setiap helaan nafasnya itu, dia kendalikan dengan kesadaran penuh.` “Saya yang mengambil alih pimpinan. Bukan penyakit saya,” ujarnya penuh semangat.
Apa yang membuat Pepeng begitu tegar? “Saya pantang mati sebelum ajal,” ujarnya mantap. Selain itu, diakuinya faktor dukungan istri dan anak-anaknya sangat membantu dalam menghadapi hari-hari yang penuh penderitaan fisik.
Pepeng menyadarkan kita semua tentang arti hidup. Dalam kondisi seperti itu Pepeng tetap optimistis menghaapi mas depan. Bukan saja dia pantang menyerah menghadapi penyakitnya, tetapi dalam kondisi yang sangat terbatas itu dia tetap menyelesaikan kuliah psikologinya untuk meraih gelar S2. Di sela-sela waktunya Pepeng juga masih menyempatkan diri untuk menulis. Termasuk merintis pembentukan komunitas penyandang MS. Komunitas yang dibentuk agar sesama penyandang MS bisa saling memberi info mutakhir tentang penyakit tersebut dan juga saling menguatkan.
Pepeng membuat kita tersadar banyak di antara kita yang sehat dan masih kuat, ternyata begitu mudah menyerah, lembek, dan kurang mensyukuri hidup. Kita mudah menyerah ketika dihadapkan pada cobaan hidup. Kita lembek ketika dihadapkan pada tantangan. Kita kerap mengeluh bahwa Tuhan tidak adil hanya karena mencobai kita. Padahal cobaan tersebut sepele dan tidak sebanding dengan apa yang dihadapi Pepeng dan juga narasumber lain yang hadir di Kick Andy waktu itu..
Simak saja cobaan hidup yang dihadapi Christian Simanjuntak yang kehilangan delapan jari tangannya karena harus diamputasi akibat penyakit yang disandangnya. Begitu juga Ghina. Sejak lahir Ghina sudah dihadapkan pada penyakit yang membuat tulang tengkorak wajahnya harus ditarik milimeter demi milimeter selama lebih dari dua bulan.
Penderitaan Ghina tidak sampai di situ. Agar bola matanya tidak copot, maka kelopak matanya dijahit. Itu pun belum selesai karena masih ada beberapa operasi yang harus dihadapi bocah yang kini berusia 14 tahun ini. Termasuk agar pendengarannya bisa normal.
Jangankan mengeluh, Ghina justru menunjukkan prestasi dan usaha belajar yang luar biasa. Bahkan dengan kondisi seperti itu Ghina berhasil menerbitkan sebuah buku berupa catatan hariannya dengan ulustrasi gambar yang dibuatnya sendiri.
Awalnya, sewaktu mengangkat topik “penyakit Langka”, saya ingin agar masyarakat waspada menghadapi penyakit yang tidak diketahui asal usul dan obat penangkalnya. Tetapi, ketika topik itu akhirnya diangkat di Kick Andy, ada hal lain yang lebih besar yang saya temukan. Saya baru menyadari para narsumber yang hadir bukan saja sedang membagikan pengetahuan tentang penyakit yang mereka sandang, tetapi mereka juga sedang membagikan semangat pantang menyerah yang luar biasa.

Jumat, 10 Desember 2010

Kesetiaan

Bertahanlah untuk tetap Setia
Ada seekor burung betina tertabrak mobil karena terbang menukik terlalu rendah. Ia terkapar tak berdaya. Beberapa kali, dgn penuh cinta, sang jantan membawakan kekasihnya amakanan. Lagi, ia membawakan makanan tapi sang betina telah meninggal.
Jantan itu mencoba menggerakkan tubuh pasangannya untuk emamstikan aopa yang terjadi. Sadar bahwa belahan hatinya telah tiada dan tak akan kembali, ia berkicau keras meratapi pkepergian pasangannya, tanpa bernajak dari jasad kaku sang kekasih.
Jutaan orang di dunia menangis usai melihat rangkaian gambar yg dibidik seorang wartawan ini. Dimulai saat si betina tertabrak, diberi makan berkali-kali oleh pasangannya, sampai tak bergerak lagi. Si wartawan menjual foto-foto terebut ke salah satu Koran terbesar di Perancis. Seluruh ekslempar Koran tersebut habis terjual ketika gambar-gamabra ini dimuat.
Kesetiaan memang menyentuh relung hati, tak perduli siapa pelakunya. Bahkan, kisah Hachiko, anjing yg sangat setia menanti tuannya selama 10 tahun di stasiun KA Shibuya, Tokyo, sangat melegenda. Hachiko tidak tahu bahwa Profesor Ueno, tuannya, telah meninggal di kampus tempatnya mengajar. Ia terus menjemput ‘tuannya yg hilang ’ selama bertahun-tahun sampai ajalanya sendiri tiba. Patung tembaga Hachiko sekarang menjadi monument ‘kesetiaan’ di stasiun tersebut.
Kisah kesetiaan, apalagi harus berakhir dengan perpisahanan, selalu membuat air mata saya merebak. Tapi mengapa saya harus mengambil ilustrasi hewan sebagai ‘wajah’ kesetiaan ? Sebab, bila itu dilakukan manusia, tentulah wajar. Kita punya akal dan nurani. Sedangkan hewan, yang hanya memiliki hawa nafsu, dari mana ia belajar arti setia ?
Namun, disinilah masalahnya. Sesuatu yang wajar ternyata tdk otomatis mudah didapat. Kesetiaan manusia seirng tercampuri oleh berbagai kepentingan untung rugi, karena akalnya tahu untung itu enak dan rugi itu tidak enak. Keuntungan versi pikiran seringkali mengalahkan nurani. Jadilah kesetiaan semakin sulit ditemui dalam jiwa manusia kini.
Pdhl orang yg sangat tidak setia sekalipun, tetap ingin diberi kesetiaan. Bahkan Alloh swt saja sangat gembira mendapati hamba-Nya yg kembali setia pada-Nya, melebihi kegembiraan seorang musafir yg menemukan kembali untanya yg hilang.
Kesetiaan cepat atau lambat akan melahirkan banyak kebaikan. Ia bias menumbuhkan semangat, cinta, rindu, kepercayaan diri, dan loyalitas seseorang untuk kita. Bahkan kepedihan pun akan menjadi sangat agung, ketika takdir menentukan kesetiaan harus terpisahkan oleh maut.
“Bahwasanya orang-orang yg berjanji setia kpd kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Alloh. Tangan Alloh di atas tangan mereka, maka barangsiapa yg melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Alloh, maka Alloh akan memebrinya pahala yg besar.” (TQS AL Fath [47] : 10)
Jk memang ganjaran kesetiaan begitu indah, mengapa harus sulit untuk bersikap setia ? Bukan hanya bagi pasangan, orangtua yg tidak pernah pamrih, perusahaan yg memberi gaji, walau kerja kita tdk maksimal, negara tempat kita berpijak, bahkan Tuhan semesta alam menanti kesetiaan kita dengan imbalan yg tidak tanggung-tanggung; kenikmatan hidup di dunia dan akherat.
Mari berusaha setia pd janji yg pernah tercetus, pd kebaikan perilaku yg telah kita rintis, dan pd kemuliaan ibadah yg mulai meningkat. Sehingga tak pernah akan terucap dari lisan kita,”Dulu ibadahku (atau kecintaanku padanya) lebih baik dari sekarang.”
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya untuk Alloh Tuhan semesta alam.” (TQS Al An Aam [6] 162)
Oleh Meutia Geumala. Diambil dari majalah Ummi no 5/XXII/September 2010/1431 H

Jumat, 03 Desember 2010

Kisah Menggugah Pro-U, 2

Buku – Buku Pro-U

Pertamakali melihat buku terbitan Pro-U, Wik seketika terpesona, pada design covernya yang cantik punya. Tidak percaya, coba lihat hasil scanning di samping. Dari scanning yang kurang sempurna saja, kita sudah bisa melihat cover buku yang cantik dan menggugah selera membaca kita. Bisa jadi kru pro-U menerapkan ilmu pak Hernowo dari Mizan dalam buku Mengkait Makna-nya. Kata Mr. Hernowo, buku sepertihalnya makanan. Ada yang bergizi dan kita butuhkan, ada yang cuma sekedar cemilan atau bahkan ada yang mesti kita hindari karena mengandung racun yang mematikan. Nah, salah satu tanda sebuah buku yang bagus alias bergizi bisa dilihat dari sampul. Digarap dengan serius dan mampu mendatangkan selera untuk membaca tidak.
Tanda lain buku yang bergizi adalah kalimat pengantar yang biasa ada di sampul bagian belakang atau depan yang bertugas memperkenalkan secara garis besar apa tema dan bahasan buku. Dilihat dari dua kriteria di atas, pro-U sudah cukup bagus. Lay-out isi bukunya pun ciamik (ada gambar di hampir semua halaman seperti di buku The Great Power of Mother atau novel Birunya Langit Cinta). Gambar di top atau bottom page ini meringankan mata ketika membaca. Kita tidak melulu berhadapan dengan huruf demi huruf. Berhasil menguatkan pesan buku juga. Meski di bookmagz, seperti buku Bikin Belajar Selezat Coklatnya Mr. Fatan Fantastic dan Dinda Denniz, gambar too crowded kelihatannya. Bukunya sudah mungil, tulisannya banyak, ditambah gambar yang sedikit berjejal ? Rada kurang lapang mata memandang.
Well, setelah melihat sampul buku, sekarang Wik akan berbagi cerita tentang isi buku yang mampu bikin hati tersentuh, akal berpikir dan jasad bertindak, garapan laskar pro-U.
1.       Agar Bidadari Cemburu Padamu
Ustadz Faudhil Adhim dan Didik Purwodarsono ke kampong kami, itu peristiwa langka. Tema yang diangkat pun menarik untuk saat itu, tentang pernikahan dini. Akhirnya dengan beberapa teman, kamipun datang dan menghadiri acara kajian di Ahad siang itu.
Acara demi acara berlalu sampai datanglah sesi dialog. Setelah mengumpulkan keberanian secukupnya, Wik pun mengangkat tangan dan bertanya,” Maaf ustadz, bagaimana kalau istri dengan suami lebih dari satu ? Di surga nanti dia akan bersama dengan suaminya yang mana ?”
Menurut Wik, itu pertanyaan yang simple dan biasa saja tapi … jawaban ustadz sempat membuatnya malu.
Wualah Mbak, tidak usahlah berpikir sampai ribet seperti itu … ,” ustadz Faudhil Adhim menjawab  dengan santai tapi rada  menghentak hati Wik.
“Untuk kehidupan di surga, kita tidak bisa mengukurnya  atau menyamakannya dengan kehidupan di dunia … ,” Ah, jawaban ustadz Didik juga belum memuaskan Wik sampai ia bertemu dengan sebuah buku karangan Salim A Fillah, Agar Bidadari Cemburu Padamu.
Dalam buku itu, tepat di  bagian pengantar, terpampang kisah ummu Salamah dan pertanyaannya kepada Nabi saw. Pertanyaannya persis sama dengan pertanyaan Wik. Bedanya, Ummu Salamah adalah seorang janda yang ditinggal syahid oleh suaminya tercinta. Sepeninggal suaminya, Ummu Salamah berpikir tidak ada lelaki lain yang sehebat sang suami. Meski begitu, seperti doa yang diajarkan oleh Nabi, ketika ditinggal wafat suaminya, Ummu Salamah pun berdoa, semua dari Alloh swt dan akan kembali ke Alloh. Ya Alloh berikanlah ganti yang lebih baik.  Know what ? Setelah itu, ia pun kemudian dipersunting Nabi dan berhak atas julukan ummahatul mukminin, ibunya para mukmin, para orang yang beriman. Berikut penggalan hadist tersebut, Wik kutip dari halaman xi dan 55-56 : … “Aku ( Ummu Salamah) bertanya,” Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari ?”
Beliau menjawab,”Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Alloh. Alloh meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata,”Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami sselalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami ridha dan tak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”
Aku berkata,”Ya Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan mereka pun masuk surga. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga ?”
Beliau menjawab,”Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu diapun memilih siapa diantara mereka yang paling baik akhlaqnya. Lalu dia berkata,”Rabbi, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya …”
Wahai Ummu Salamah, akhlaq yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.” (HR Ath Thabrani, dari Ummu Salamah)
Membaca itu, pertanyaan Wik terjawab dan malunya pun terhapus ketika mengetahui bahwa seorang ummahatul mukminin ternyata pernah bertanya hal yang sama seperti dirinya. Ia pun terpuaskan dengan jawaban yang ditemukannya dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu. Melalui buku ini pula, paradigma Wik tentang sebaik-baiknya perempuan terkoreksi. Karena dari buku itu Wik mengetahui bahwa, bidadari surga pun bisa terkalahkan oleh seorang perempuan yang hidup di dunia, seperti Wik misalnya he .. he. Dengan syarat, kesholihan diri. Dengan kesholihannya, perempuan dunia bisa mengalahkan dan membuat cemburu para bidadari surga. Karena perempuan-perempuan sholihat nan taat, mereka mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji, sabar, dan syukur, karena Alloh semata. Amal-amal sholih itulah yang menaikkan derajat para perempuan sholihat. Sehingga mampu mengalahkan para bidadari surga.  Apalagi ketika ia menikah yang berarti semakin luas dan banyak amal sholih yang bisa dilakukannya. Semakin telaklah kekalahan sang bidadari.
Meski bahasa Salim berbeda dari yang lain, karena muter dan meluas kemana-mana, tetapi ikhwan lulusan pesantren As Salam Solo itu, dengan pengetahuan dan pemahaman Islamnya mampu memuaskan seorang Wik lewat bukunya, Agar Bidadari Cemburu Padamu. Melalui sosok seorang Salim pula, Wik belajar kerendahatian. Honest, usia Wik yang lebih banyak dari Salim, menjadikan Wik rada kurang serius mendengar penuturan Salim (awalnya), tetapi … setelah melihat hasil dari ketekunannya, buku-buku best sellernya, juga hal-hal baru, ilmu-ilmu baru yang Wik dapat dari penuturannya (baik lewat lisan atau tulisan), Wik pun menyiapkan diri untuk selalu menjadi murid ketika mengikuti acara bedah buku Salim atau mendengar acara kajian Salim. Well, mestinyalah begitu, bukankah kita diajari untuk tidak melihat siapa yang bicara tetapi memperhatikan apa yang dibicarakannya ? Aa’ Gym juga seringkali mengingatkan kita untuk selalu mejadi teko air yang selalu siap untuk diisi (siap untuk belajar) dari setiap orang yang kita temui. Dan bukankah sombong itu ketika kita meremehkan orang lain, merasa lebih baik dari orang lain dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari mana pun dan oleh siapa pun ? Astaghfirullahal adhzim.  Jazakallahu khairan katsira ustadz Salim, dan jazakumullahu khairan katsira pro-U.

2.       The Great Power of Mother

Selamat Meraih Jannah, Be Sholihah

Itu tulisan ustadz Solikhin Abu Izzudin di halaman depan buku Wik, hasil doorprize. Buku komplet untuk bisa jadi anak yang berbakti ke ortu, inilah dia. Yang Wik paling ingat dari buku setebal 302 halaman ini adalah bahwa celakalah mereka yang mendapati ayah ibunya atau salah satu diantara mereka lanjut usia lalu ia tidak bisa masuk surga. Naudzubillah. Alhamdulillah,  kehadiran buku ini pas benar untuk seorang Wik yang sedang dan selalu berjuang menata sebata demi sebata kesabaran ketika merawat Bapak.
Mukhtasar Ibnu Katsir yang diriwayatkan dari berbagai rawi dari Anas bin Malik bahwa suatu ketika Rasululloh naik ke mimbar dan bersabda,” … Rasulullah bersabda, “Celakalah dia, celakalah dia, celakalah dia.” Ditanyakan,”Siapa wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda,”Barangsiapa yang mendapati orangtuanya telah lanjut usia, salah satunya atau kedua-duanya, lalu ia tidak bisa masuk surga …” (HR. Muslim). Dalam hadits panjang tersebut juga dikatakan hina dinalah mereka yang disebut nama Nabi saw tetai ia kemudian tidak bersholawat padanya. Hina dina pula mereka yang menjumpai bulan Ramadhan tetapi tidak memperoleh ampunan dari Alloh (The Great Power of Mother hlm 79-80). Naudzubillah.
3.                   Dakwah Itu Keren
Satu lagi penulis pro-U yang muda dan produktif, Sofwan Al Banna. Buku ini hasil pinjaman dari adik. Adik Wik mendapatkannya sebagai doorprize di acara Fatih Family (komunitas pecinta nasyid, utamanya nasyid yang dilantunkan Fatih). Jujur, belum tuntas membacanya tapi sekilas baca, subahanalloh, keren. Banyak ilmu yang Wik dapat dari sana. Yang sampai sekarang Wik ingat adalah perjuangan Sofwan dkk ketika mengadakan acara seminar di gedung dengan sewa mahal yang butuh dana besar dan berakhir dengan adanya hutang sebesar satu juta. Setelah acara berlangsung dengan suksesnya, mereka pun (Sofwan dan aktivis dakwah berinisial TIH) mesti memutar akal mencari cara menutup hutang kolektif itu (keren kan, seperti Rasul saw, berani berhutang untuk yang lain).  Alhamdulillah, ada lomba karya tulis ilmiah berhadiah satu juta, dan ikutlah mereka. Mereka pun, setelah ikhtiar (kalau memakai bahasanya prof. Yohanes, memakai jurus mestakung, karena waktu untuk mengikuti lomba tinggal sehari) alhamdulillah berhasil memenangkan lomba untuk kemudian menghibahkan uang hasil lomba guna membayar hutang ( halaman 24). Subhanalloh, kan ? Kalau Sofwan melihat lomba karya tulis sebagai ladang pendapatan, tidak salahlah kalau Wik juga berpikir acara bedah buku sebagai ladang untuk bisa menambah koleksi buku secara gratis. Lebih tidak berkeringat tapi.
     Well, setelah sekilas membaca buku ini, akhirnya Wik pun tergerak untuk menjadikan buku ini sebagai hadiah buat teman. Baru dua orang tapi insya Alloh, buku ini cukup mewakili Wik untuk memberitahu pentingnya keterlibatan mereka dalam dakwah dan begitu banyaknya manfaat yang mereka bisa dapat ketika mereka mau terjun dalam dakwah, selain sibuk dengan pekerjaan kantor dan rumahtangga. Atau bagaimana membingkai kesibukan mereka itu dengan kerangka dakwah. Selain isinya yang padat ilmu dan info, harga buku juga terbilang miring, mantap, bukan ? Teman Wik yang mendapat hadiah buku ini berkata,”Jadi tersemangati, Mbak.” Begitu komentarnya. Tersemangati untuk berdakwah insya Alloh.
4.                   Bikin Hati Lebih Hidup
Ini buku pertama yang Wik dapat secara gratis, doorprize dari pro-U melalui ajang bedah buku. Yang Wik ingat, bedah buku saat itu diadakan di Masjid Syuhada. Pembedahnya adalah penerjemah bukunya sendiri yang masih terbilang muda ( maaf, Wik tidak bisa sebutkan namanya karena bukunya masih di teman dan sekarang buku itu tidak lagi diterbitkan pro-U). Pembedah lain adalah ustadz Syatori Abdurrauf, pimpinan pesantren mahasiswi Darush Shalihat Jogjakarta yang telah hafal alhamdulillah 30 juz (bukannya juz 30 ) dan insya Alloh spesialis membahas topik bahasan tentang hati. Bukunya sih kecil mungil. Sebesar buku 100 % Dakwah Kerennya Sofwan, lebih kecil sedikit malah. Meski begitu isinya tidak sekecil bukunya.  Ada dua hal yang sampai sekarang Wik ingat dari buku yang mengupas tentang cara membersihkan hati itu.
a.      Dalam buku itu disebutkan bahwa untuk bisa bertaubat secara nasuha maka kita harus berusaha untuk
mengingat ingat setiap dosa yang kita lakukan untuk kemudian mengistighfarinya, satu demi satu dosa, satu
demi satu lantunan istighfar. Jadi mesti jelas tuh, kita dosa apa dan kemudian mohon ampun untuk itu.
Pertama Wik membaca ini Wik rada surprise, what,  mesti ingat dosa kita ? Padahal kan buanyak banget
tuh dosa, gimana mau ngrentenginnya ? Eh, setelah itu Aa’ Gym di MQ pun bilang begitu. Aa’ lebih nakuti
lagi karena menambah dengan mengatakan, musibah, cobaan yang datang ke kita adalah hasil dari perbuatan
kita sendiri, dosa yang telah kita  lakukan. Jadi, selama dosa itu belum kita taubati maka siap-siap menerima
bala/musibah deh. Wah, jadilah membuka luka lama, mengingat yang Wik masih ingat dan upayakan untuk
ingat, dosa demi dosa, dari SD sampai sekarang. Astaghfirullah al adhzim.

b.      Satu cerita yang Wik ingat dari buku ini adalah cerita seorang abid yang telah beribadah tanpa putus,
puluhan tahun, istiqomah sampai akhir hayatnya. So .. ketika ia di akherat, ia pun bersiap masuk surga dan
bilang ke Alloh, “Ya Alloh, masukkanlah aku ke surga-Mu karena amal ibadahku selama hidupku.” Tahu
 apa yag terjadi kemudian ? Eh, dia ditunda masuk surganya sama Alloh. Para malaikat pun diminta untuk
menimbang, berat manakah antara dua hal  ini : amal ibadah yang dilakukannya seumur hidup ia punya
dengan nikmat mata yang dinikmatinya, seumur hidupnya. Dan ternyata saudara-saudara, nikmat sebelah,
hanya sebelah, biji mata yang dirasakannya seumur hidup itu tidak mampu menyamai seluruh amal ibadah
 yang dilakukannya seumur hidup pula. Innalillah. Maha Benar yang berfirman kemudian bahwa sang ahli
ibadah, abid itu masuk surga karena rahmat, kasih sayang Alloh. Ustazd Syatori memperjelas ini dalam
kajian Jelajah Hati tiap hari Kamis di Darush Sholihat dengan mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan
kebaikan tanpa nikmat pemberian dari Alloh. Nah lho, di mana ada tempat untuk sombong kalau begini, iya
nggak ? 

5.                   Penawar Lelah Pengemban Dakwah
Ini buku setengah wajib bagi Wik. Menemani keseharian Wik selain kajian MQ paginya MQ FM Jogja  Awalnya bingung juga, apa sarana yang bisa dipakai agar kita bisa selalu ingat bahwa dunia itu cuma sebentar. Bahwa dunia memang tempatnya bercapek-capek ria, berlelah-lelah dalam pengabdian menuju Alloh. Sesuatu yang bisa mengingatkan kita selalu akan kampung halaman kita yang sebenarnya, yaitu akherat (kata ustadz Syatori, kita di dunia cuma jadi pengungsi). Akhirnya, Wik menemukan buku ini, buku punya kakak (yang sering lupa kalau bukunya dipinjam). Sayang, pro-U tidak lagi memproduksi buku ini. Ada buku yang mirip dengan buku ini, terbitan pro-U juga, karya ustadz Irfan S. Awwas, Musuh Cita-Cita Pengemban Dakwah. Meski begitu, buku Penawar Lelah Pengemban Dakwah tulisan ustadz Abdullah Azzam ini subhanalloh, two tumps lah. Beruntung mereka yang sempat membelinya dulu. Wik nukilkan tulisan di sampul depannya  sebagai contoh.

Ketahuilah wahai saudaraku, sungguh Anda akan menemui masa-masa yang sulit, masa-masa yang melelahkan, dan berbagai ujian, padahal Anda tengah berjalan di atas jalan kebenaran dan disibukkan dengan berbagai aktifitas dakwah. Apabila Anda teguh di atas kebenaran dan sabar menghadapi berbagai ujian, niscaya kepedihan akan sirna, kelelahan akan hilang, dan yang tersisa bagi ANda adalah ganjaran dan pahala. Insya Alloh.
Dulu Wik sempat jengkel, merasa tidak adil ketika, ada tawaran amanah ke Wik. Tidak cuma sekali. Bukan Wik tidak mau, di satu sisi Wik ingin menerima amanah itu, tetapi di lain sisi Wik sendiri (dulu) sudah merasa kewalahan dengan amanah dakwah yang ada, kewalahan mengatur waktu. Belum lagi Wik lihat ada satu dua teman lain, yang sudah juga sedikit banyak paham pentingnya dakwah, tetapi kenapa mereka masih ‘dibiarkan’ tanpa amanah sama sekali. Sibuk dengan kuliah S-2nyalah atau sibuk terus mencari maisyah. Bisa jadi iri, astaghfirullah. Tapi dimana mekanisme pengaturan itu ? Lapor ke Murabbi, sedikit dimarahi karena terlihat sekali iri atau malah sombongnya. Astaghfirullah.
“Wik tuh sudah ada amanah ini, itu, dan ini, Mi. Wik juga sudah pegang dua kelompok. Kenapa tidak diberikan ke yang lain ? Mereka megang kelompok saja belum.” Begitu kurang lebih protes itu. Tidak berakhir baik saudara-saudara.
Sampai seorang akwat senior bilang,”Nek menurutku ya, Dik. Semua keputusan akhirnya kembali ke kita. Mau tidak menerima amanah itu.” Simple, bukan ? Tetapi tetap saja belum memuaskan sampai Wik menemukan jawaban dalam buku ustadz Abdullah Azzam ini. Kita simak apa kata beliau.
Bagaimana pendapat Anda jika ada seorang buruh  pabrik, ia tidak mengerjakan apa-apa, tidak menghasilkan apa-apa, kerjanya cuma mengisi daftar hadir di pagi hari lalu pulang di sore hari. … Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemilik pabrik terhadapnya ? Pasti ia akan memecatnya seketika .. begitu pun dengan ikhwah yang tidak memahami Islam selain memakai baju gamis dan memanjangkan jenggot, ia pasif dan tidak memepersembahkan sesuatu pun untuk Islam, kalau pun memeberi hanya sedikit atau yang tidak baik. (naudzubillah).
Beberapa gelintir pemuka dan ikhwah yang aktif untuk Islam dengan giat dan sungguh-sungguh, sekali-kali tidak akan mampu menegakkan daulah Islam sendirian, seberapa pun usaha dan tenaga yang mereka kerahkan. Apalagi semua tahu tindakan musuh-musuh Islam. Operasi yang mereka lakukan untuk membuat gerakan dakwah tersendat dan terbatas, menjadikan sekian ikhwah dihadapkan pada ujian berat dari waktu ke waktu sehingga mereka meninggalkan ruangan kosong yang semestinya diisi.
Selayaknya setiap muslim bertanya kepada dirinya sendiri, berapa orang yang telah mendapat hidayah Alloh dengan perantara dirinya pekan ini ? Sudahkah kerabat, tetangga, orang tua didakwahi ? Adakah langkah maju menuju pemahaman dan pengamalan Islam yang lebih baik ? … (halaman 120-123)
Setelah jawab ditemukan dan rutin membaca nasehat demi nasehat dalam buku ini, Wik pun kemudian mengusulkan agar isi buku ini menjadi kultum di pertemuan rutin Wik.
“Membaca atau mendengar kultum dari buku ini, kita merasa bahwa kita belum apa-apa. Malulah kita.     Masih sedikit yang kita lakukan.” Itu komentar Murobbi Wik kemudian. 
6.                   Menuju Surga-Mu
Ini buku pro-U hasil beli sendiri saudara-saudara. Buku pendamping menuju re-born, insya Alloh. Cerita-cerita didalamnya begitu banyak yang menyentuh, meski kita harus hati-hati karena ada satu dua cerita yang palsu seperti cerita tentang Nabi Daud atau cincin Nabi Sulaiman ( ke depan tolong diedit lagi pro-U, cerita yang meragukan, hilangkan saja ). Mengajari diri merenggang dari dunia, zuhud dan belajar tentang keMaha Rahman dan Rahiim-Nya Alloh, buku ini cukup bagus kita komsumsi. Ada kisah tentang seekor ular buta yang diberi makan oleh seekor burung sehingga menjadikan sekumpulan manusia bertaubat ke Alloh karenanya. Ada juga kisah seekor kalajengking yang naik di punggung katak untuk menuju tempat seorang pemuda mabuk yang hampir digigit ular. Sang kalajengking mengigit si ular atas perintah Alloh sehingga sang pemuda berkata “Tuhanku, inikah yang Engkau lakukan terhadap orang yang mendurhakai-Mu ?! Lalu bagaimana kasih sayang-Mu terhadap orang yang menaati-Mu ?” (halaman 218).

Demikian cerita Wik. Spesial untuk pro-U, meski berusaha profesional menata semuanya dan penuh idealisme, kalau boleh Wik beri saran, tetap adakan seleksi ketat untuk semua naskah yang masuk. Meski mengusung brand mengedepankan gagasan, tetapi kualitas mesti dikedepankan, bukan ? Kalau perlu dipublik-readingkan dulu ke sidang terbatas pembaca ? Wik sempat kurang puas membaca satu novel terbitan pro-U dan satu dua buku pro-U. Dari sampulnya sudah oke, tetapi isinya ternyata berbeda dari harapan kita.  Sekarang sih ketika memilih buku, tidak cukup dari sampulnya saja, mesti buka sampul plastik dan membaca sekilas isinya. Agar terhindar dari kecewa begitu.

Well, demikian cerita Wik. Banyak maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan. Jazakumullahu khairan katsira untuk kesabaran sidang pembaca menekuni kata demi kata yang tersaji. Wallahu’alam.

 Alhamdulillah.  Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com./2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html 

Kisah Menggugah Pro-U, 1

                                    In The Nane of Alloh, The Most Gracious, The Most Merciful       

Pro-U dan Bedah Buku

            Satu kali, bersama dengan teman-teman, Wik pergi menghadiri acara bedah buku yang diadakan Pro-U dengan buku yang dibedah adalah karya Salim A Fillah yang fenomenal, Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah. Bedah buku waktu itu diadakan di masjid Gede Kauman, Jogjakarta. Ketika kita datang ke sana, peserta sudah membludak sehingga serambi masjid pun tidak mampu menampung peserta. Bahkan ada peserta yang terpaksa rela berdiri untuk menyimak untaian ilmu dari acara itu. Yang Wik tahu setelah acara itu, kakak teman Wik yang nota bene, orang awam dan tidak begitu rajin ikut pengajian atau tidak begitu tertarik dengan acara-acara berbau agama, saat itu datang beserta pacarnya ! Fantastis ! Wik menarik kesimpulan, adanya antusiasme peserta yang haus ilmu dan promosi yang gencar telah mampu menjadikan acara bedah buku itu sukses ses !

Nah, sepertinya dari acara bedah buku pertama Salim itu, Wik mulai melihat, betapa royalnya pro-U membagi doorprizes buku gratis ke peserta. Ia pun mulai mengenal Pro-U sebagai penerbit buku yang digawangi anak-anak muda yang penuh semangat dengan idealisme Islam mereka dan profesionalitas yang coba mereka bangun. Ketika banyak masyarakat Indonesia yang bahkan merasa malu, phobi dengan keIslaman mereka atau mereka yang baru sekedar KTPnya yang Islam, anak-anak muda yang memotori pro-U berbeda. Mereka bangga dengan keislaman mereka dan tanpa segan dan sungkan menampilkannya dalam cetakan demi cetakan buku yang mereka hasilkan, juga dalam perilaku mereka (penampilan berpakaian, sapaan dan tindak tanduk mereka ketika menggelar acaara bedah buku ataau pameran). Semangat keislaman, kesungguhan, kerja keras para awak pro-U mengelola penerbitan mereka, selain kedermawanannya membagi buku gratis sebagai doorprizes di hampir setiap acara bedah buku yang mereka gelar, membuat Wik menaruh simpati dengan penerbitan yang asli lahir di Jogja ini.

            Sekarang, ketika Wik melihat rak buku Wik, di sana baru ada empat buah buku terbitan pro-U, yang didapatkanya secara gratis. Itu berarti Wik mendapatkannya sebagai doorprizes dalam acara bedah buku yang diselenggarakan pro-U. Mulai dari buku Bikin Hidup Lebih Hidup, The Great Power of Mother, novel Bulan Tak Purnama, dan Birunya Langit Cinta.

            Hunting buku gratis sebenarnya bukan sesuatu yang direncanakan Wik. Hobinya bertanya dalam sebuah forumlah yang menjadikan ide itu menjelma menjadi sebuah perburuan buku gratis di acara bedah buku. Wik melihat ide itu sebagai satu cara cerdas menambah koleksi bukunya. Apalagi Jogja merupakan kota yang rajin menyelenggarakan acara bedah buku. Dan Wik pikir, sah-sah saja ia melakukannya. Toh ketika bertanya, ia memang menanyakan sesuatu yang ingin diketahui dan penting baginya. Dari sana ia juga belajar berpikir sebelum mengajukan pertanyaan, mengendalikan diri dan emosi, belajar sportivitas dan ikhlas ketika akhirnya, setelah berusaha, sang buku pun lepas dari tangannya. Bahkan lebih dari sekali, Wik mengikhlaskan buku yang didapatnya. Pertama karena ia melihat ada yang lebih membutuhkan buku itu.  Waktu itu Wik dengan ringan mengatakan kepada peserta disebelahnya,” Mau ?” sambil menyodorkan buku hasil dia bertanya. Of course, mata sang peserta itu pun langsung berbinar senang. Dapat buku gratis, siapa menolak ?

Kali kedua Wik melepas buku doorprizesnya karena Wik malu untuk mengambil buku yang telah menjadi jatahnya, apalagi ketika peserta lain begitu bernafsu untuk mendapatkan buku itu. Seperti ketika acara bedah novel Bumi Cintanya kang Abik  di Jogja tahun 2010 ini. Wik masih ingat, dari jarak 100 meter ia melihat bagaimana peserta lain bersegera menuju ke arah kang Abik untuk mengambil jatah buku mereka. Wajah kang Abik tertangkap sedikit bingung bagi mata Wik, mungkin karena jatah buku yang bisa dibagi habis ( atau bahkan kurang ?), atau bingung melihat antusiasme peserta yang ‘sedikit’ ngegirisi  alias mengerikan ? Wallahu’alam. Yang pasti, wajah bingung kang Abik, menjadikan Wik tidak tega untuk mengambil jatah buku bagiannya.

Well, pelajaran terpenting dari usaha mendapat buku doorprizes  gratisan adalah, bagaimana menata niat kita agar tidak jatuh pada keinginan,  datang ke acara bedah buku hanya untuk mendapat buku gratisan thok. Ditanggung bakalan kecewa kalau kita datang atau bertanya di acara bedah buku dengan niat hanya untuk mendapat doorprizes buku gratis. Saran Wik, niatnya tidak boleh berhenti hanya untuk dunia, tapi mesti dikaitkan untuk tujuan akherat, untuk sesuatu yang disukai Alloh. Untuk amannya, kita mesti berharap yang terbaik dan mengantisipasi yang terburuk (darimana Wik mendapat kalimat ini, ya ?). Misalnya berharap mendapat doorprizes buku gratis yang bisa nambah koleksi sehingga bisa dipinjemi ke teman-teman yang lain, bisa kita bedah dan dibikin resensi (sebagai wujud terima kasih kita ke penerbit kalau resensi kita dimuat) atau untuk hadiah ke teman. Tapi … kita mesti siap juga kalau itu buku hanya lewat di depan kita alias kita tidak mendapatkannya. Kita mesti berpikir , setidaknya dari forum seperti bedah buku, ilmu dan wawasan kita bertambah, semangat untuk menghasilkan sesuatu, berkarya, atau berprestasi yang mendatangkan kemanfaatan seperti si penulis bisa kita dapat. Ok ?

Ide Berbuah Ide

Setelah lebih dari sekali mendapat buku gratis dari acara bedah buku, ada ide lain yang muncul. Ide berawal, dari keinginan membalas kebaikan mereka yang menjadi sarana sehingga Wik mendapat buku gratis he .. he. Kemudian keinginan itu dikombinasi dengan keinginan lain untuk belajar menjadi seorang penulis. So … lahirlah ide membuat resensi dari buku-buku hasil doorprizes itu. Sayangnya, pengalaman kemudian membuktikan, Wik belum bisa optimal untuk itu. Selain ilmu dan ketrampilan belum memadai, tidak setiap buku hasil doorprizes,  bisa Wik resensi. Setelah mencoba meresensi dua buku (satu buku dari doorprizes pro-U, dan satu buku bukan dari doorprizes), mengirimkannya ke koran lokal dan gagal, Wik belajar bahwa ternyata, Wik hanya akan benar-benar greget meresensi ketika buku yang Wik dapat dan kemudian Wik baca, Wik nilai bagus. Jadi, ketika Wik benar-benar mendapat sesuatu yang baru dalam buku itu, entah itu Aha, insight, inspirasi  atau sesuatu yang menyentuh hati, mengubah pola pikir maka Wik akan bisa membuat resensi dengan mulus. Artinya menyelesaikan tugas resensi dengan baik. Ibarat sales, kalau tidak yakin dengan produk yang dijual, maka kalimat yang keluar dari mulutnya seakan masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Begitu juga Wik. Ketika Wik bahkan tidak ingat satu pun hal yang berkesan dalam sebuah buku, maka Wik tidak (atau belum) mampu untuk mengajak yang lain agar ikut membaca buku itu. Tapi, sampai sekarang Wik masih terus belajar meresensi buku, meski sampai saat H-1 waktu lomba Menulis Pro-U ini, belum juga dimuat he … he ( terakhir meresensi novel Tasaro GK berjudul, Muhammad saw, Lelaki Pengenggam Hujan, hasil doorprizes acara resensi buku di MQ FM Jogja, 92,3 FM ).

Ide berikut adalah, Wik ingin juga suatu saat menjadi mereka yang berperan membagi buku, bukannya menerima buku, secara gratis pula. Wik telah menikmati saat-saat dimana orang lain bingung ketika tidak memiliki cukup uang untuk membeli buku di pameran buku, sementara Wik asyik memikirkan buku apa yang berpeluang untuk Wik dapat di acara bedah buku (yang biasanya menyertai acara pameran buku) sambil melihat jadual pameran. Setelah Aa’ Gym melalui kajian MQ paginya di MQ FM sangat getol mengulang-ulang pesan, sukalah menjadi mereka yang memberi dan bukannya menjadi orang yang suka untuk selalu diberi. Akhirnya, Wik jadi malu sendiri. Apalagi ketika Aa’ menyindir dengan mengatakan bahwa bagi santri DT (Darut Tauhid, pesantren tempat Aa’ mengajar), pantang untuk menerima sesuatu yang gratis. Yang gratis itu hanyalah untuk mereka yang miskin. Gubrak !!! Telak bener itu nasehat. Belum lagi ketika melihat film Laskar Pelangi yang fenomenal itu. Di sana ada sosok Pak Guru Harman yang dalam sebuah adegan yang menghentak hati mengatakan, kurang lebih,” Jadilah kalian menjadi orang yang memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.” ( dan bukan sebaliknya, menerima sebanyaknya-banyaknya dari orang lain, asyik menjadi si tangan di bawah daripada menjadi si tangan di atas, batin Wik berkata ). Jadi … Wik pun kemudian mulai berpikir lebih. Okelah, mungkin sekarang Wik mendapat buku gratis hasil doorprizes, tapi setelah kemudian rajin meresensi buku-buku tertentu hasil doorprizes, insya Alloh, suatu saat nanti, Wik yang menjadi mereka yang duduk di panggung bedah buku dan siap untuk berbagi buku hasil karya Wik sendiri. Aamiin. Itu impian minimalis. Tolong dibantu ya, tolong dibantu doa J.

Sebagai tambahan, sampai sekarang Wik masih penasaran karena belum juga berhasil mendapat doorprizes buku karya Salim A Fillah. Oh ya, adik Wik pun juga suka mengumpulkan buku gratis hasil doorprizes. Bahkan dia lebih pintar dengan melihat peluang mendapat buku doorprizes gratis dari acara resensi buku di radio. Bahkan buku-buku hasil doorprizesnya lebih bagus dari punya Wik, seperti kalau terbitan pro-U ada 100 % Dakwah Kerennya Sofwan, Bikin Belajar Selezat Coklatnya Fatan Fantastic dan Dinda Denniz, serta Segenggam Rindu untuk Istriku-nya Dwi Budiyanto. So … ada yang tertarik mengikuti jejak kami ? Atau bahkan sudah melakukannya ?  Waspadalah waspadalah, niat mesti ditata dan biasakan diri untuk tetap menjadi mereka yang suka memberi, dan bukannya mereka yang suka menerima. Sepakat ? Wallahu’alam.

Alhamdulillah, jum’at 3 Desember 2010 at warnet
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com./2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html